Sentimen
Positif (99%)
12 Agu 2023 : 13.04
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Hewan: Domba

Partai Terkait

Hasrat Kuasa dan Demokrasi

12 Agu 2023 : 13.04 Views 10

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Hasrat Kuasa dan Demokrasi

JANGAN membuang muka dari penguasa, nanti kena batunya. Karena bukan itu yang mereka butuhkan. Mereka butuh dikagumi. Mereka butuh ditepuktangani. Mereka butuh dikontroversikan. Bukan dikritik.

Bahkan penguasa tidak hanya alergi dikritik, tapi juga butuh digembar-gemborkan. Mengapa?

Karena penguasa hidup dengan semua simbol-simbol itu. Mereka bisa besar karena itu semua. Tak lain, karena kekaguman, karena tepuk tangan, karena kontroversi, dan karena digembar-gemborkan.

Ibarat dewa-dewa dalam mitologi Yunani, mereka perlu dicintai untuk tetap menjadi seorang dewa. Mereka perlu ditakuti untuk tetap menyandang status sebagai dewa.

Memang demikianlah kekuasaan. Kekuasaan sebagai dewa, kekuasaan sebagai penguasa dan pemimpin, kekuasaan sebagai pemangku otoritas ilahi, dan lain-lain, semuanya perlu pengakuan dalam bentuk-bentuknya yang nyata.

Dikagumi, dipuja-puji, digemari, jadi topik pembicaraan di mana-mana, digembar-gemborkan, dibesar-besarkan, dikontroversikan, dan sejenisnya, begitulah adanya.

Memang begitulah kekuasaan biasanya dipelihara dari waktu ke waktu, bahkan untuk jangka waktu lama.

Jika sudah tidak ditakuti lagi, tak dikagumi lagi, maka itu pertanda mulai pudarlah kekuasaan tersebut.

Karena itulah penguasa alergi dengan kritik. Penguasa takut tak dianggap berkuasa lagi. Jika itu terjadi, maka perlu pembuktian-pembuktian baru agar memunculkan bentuk-bentuk pemujaan baru.

Dalam sejarah raja-raja lama, jika alam sudah mulai tak bersahabat, maka pertanda raja tak mendapat kepercayaan lagi dari ilahi.

Raja dianggap sudah tak mampu menjaga stabilitas alam dan dianggap tak mampu melindungi rakyat dari murka alam. Itu dianggap tanda-tanda kejatuhan, tanda-tanda kuasa raja tidak lagi mendapat izin dari pihak penguasa langit.

Ya, begitulah kekuasaan dimaknai dalam konteks tertentu. Dalam ilmu politik, sarjana-sarjana sering mengutip Robert A. Dahl, seorang Profesor Politik untuk memahami apa itu kekuasaan.

Dahl mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau institusi untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar melakukan sesuatu secara sukarela sesuai yang dikehendaki.

Semisal, si A memiliki kekuasaan terhadap si B. Sehingga si A berkemampuan untuk memengaruhi si B agar berbuat sesuatu sesuai kepentingan dan keinginan si A dengan sukarela.

Sementara otoritas bergerak dalam logika yang sama, tapi diperlengkapi dengan kekuatan untuk memaksa (coercive).

Oleh karena itu, pemerintah dianggap pemegang otoritas atau wewenang karena pemerintah mempunyai alat dan organisasi untuk memaksakan keinginannya.

Dalam kajian ilmu politik tradisional, kekuasaan adalah episentrum kajian. Ilmu politik didefinisikan sebagai ilmu yang mengulik segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan.

Mulai dari penguasa formal atau semua institusi pemerintah di semua level, sampai pada organisasi dan aktor-aktor masyarakat yang memiliki pengaruh dalam tatanan kenegaraan.

Sumber-sumber kekuasaan bisa berasal dari berbagai hal, mulai dari otoritas (dijamin oleh hukum dan perundang-undangan yang ada), adat-istiadat, agama, uang atau kekayaan, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan banyak lagi.

Dengan kata lain, memiliki kekuasaan adalah hal yang mengasyikkan. Bisa berkehendak yang sekaligus dijalankan oleh orang lain secara sukarela. Banyak yang mengidamkannya. Banyak yang bahkan gila karenanya.

Ada yang gila kuasa dengan uangnya. Ada pula yang gila kuasa karena merasa paling cerdas dan paham segala-galanya. Ada juga yang gila kuasa karena meyakini Tuhan mempercayakan sesuatu hal kepadanya. Dan banyak lagi.

Namun kekuasaan membuat tatanan masyarakat jadi berantakan. Leviathan, demikian kata filosof Thomas Hobbes. Kekuasaan yang tidak diatur akan membuat "semua memakan semua".

Oleh karena itu dibutuhkan aturan main. Oleh karena itu ada pemilu. Oleh karena itu ada hukum yang mengatur.

Semua orang berhak menjadi presiden. Semua orang berhak jadi ketua DPR. Semua orang juga berhak menjadi gubernur, wali kota, bupati, lurah, kepala desa, ketua RW, ketua RT, dan lain-lain. Namun tak semua orang mampu. Tak semua orang layak. Dan juga ada aturan mainnya.

Jangankan untuk menjadi presiden, untuk jadi calon presiden saja bukanlah sembarang orang. Hanya untuk mereka yang memenuhi kualifikasi secara politik dan hukum.

Mungkin menjadi presiden tidak butuh kompetensi dari sekolah kepresidenan, tapi menjadi calon presiden bukan ranah sembarang orang.

Di dalam negara dan pemerintahan, presiden adalah pemilik kekuasaan tertinggi, panglima tertinggi.

Dalam analogi historis zaman dulu, presiden ibarat raja di kerajaan. Presiden adalah kepala negara, yang menyatakan perang dan damai, yang mengangkat menteri dan pejabat-pejabat negara sejenisnya, yang membuat perundangan bersama parlemen, yang menjadi kuasa pengguna anggaran nasional, dan lain-lain.

Karena privilege dan kemampuan di balik kekuasaan tersebut, orang-orang jadi sangat tergila-gila untuk berkuasa.

Namun kekuasaan tak mesti dimaknai negatif. Dengan kekuasaan, kebaikan dan kebajikan juga bisa dijalankan lebih masif dan terorganisir. Dengan kekuasaan, kebijakan-kebijakan baik dan yang berpihak kepada rakyat bisa direalisasikan.

Karena kekuasaan bisa sangat fleksibel, maka kekuasaan bisa berwajah banyak. Bisa oportunis. Bisa munafik. Bisa koruptif. Bisa antagonis, despotis, otoritarian, demokratis, dan sebagainya.

Dan yang sering diingatkan, karena kekuasaan bisa berkecenderungan untuk merugikan, maka banyak muncul teori-teori untuk membatasinya. Yang banyak dikenal adalah adanya trikotomi trias politica.

Ada pembagian kekuasaan antara pembuat aturan, yang menjalankannya, dan yang mengawasinya. Apakah teori itu bekerja secara ideal dan baik? Wallahualam. Semua pihak punya parameter masing-masing.

Semua itu berangkat dari asumsi negatif kekuasaan tadi. Jika tak dibatasi, kekuasaan bisa memakan semua yang layak dimakannya. Jika tidak diawasi, kekuasaan bisa sangat koruptif.

Lord Action mengingatkan, "Power tends to corrupt. Absolute power tends to corrupt absolutely".

Kemudian muncul pula istilah demokrasi. Kekuasaan tertinggi yang layak diakui dan berhak memerintah dalam negara haruslah berasal dari rakyat. Kekuasaan sejati adalah milik rakyat alias milik pihak yang banyak (kedaulatan rakyat).

Dan lahirlah pemilihan. Pemegang puncak kekuasaan negara dan pemerintahan di semua level haruslah dipilih oleh pihak yang banyak itu, bukan ditentukan oleh faktor keturunan (askriptif), faktor ilahi, faktor kepandaian yang didapat di sekolah, dan lain-lain.

Begitulah. Berkuasa nyaris menjadi impian semua orang. Berkuasa berarti menguasai, menguasai yang dikuasai.

Jika ingin memiliki kekuasaan seorang presiden dari suatu negara, berarti ingin menguasai negara. Ingin menentukan mau diapakan negara selama di bawah kekuasaannya.

Begitu pula dengan menjadi gubernur, bupati, wali kota, dan lain-lain. Berarti ingin menguasai provinsi, kabupaten, kota, dan lain-lain.

Itulah makna kasarnya. Boleh pula diperhalus, hanya ingin menjadi pelayan rakyat, ingin menjadi wakil rakyat, penyambung lidah rakyat, atau apapunlah namanya. Namun intinya berkuasa adalah ingin menguasai para pihak yang ada di dalam yurisdiksi kekuasaan tersebut.

Artinya sederhana saja. Jika tidak ingin negara dikuasai oleh macan, maka jangan biarkan macan menjadi penguasanya.

Jika tak ingin provinsi dikuasai seekor serigala, maka jangan biarkan serigala mengambil kekuasaan tertinggi dalam provinsi. Begitupula dengan kota dan kabupaten.

Logika tersebut berlaku terbalik. Jika ingin mendudukkan malaikat di pucuk pimpinan, maka beri malaikat peluang untuk berkompetisi dan pilihlah. Jika ingin manusia super ada di puncak kekuasaan, maka beri mereka coblosan. Sesederhana itu saja.

Dan logika tersebut sangat perlu kita ulang-ulang, sangat perlu kita lebarkan, sebarkan, dan ingatkan kepada sebanyak-banyaknya manusia Indonesia yang sebentar lagi akan berhadapan dengan Pemilihan Serentak, Pilpres, Pilkada, dan Pemilihan Legislatif.

Karena dalam alam demokrasi, seharusnya tidak ada serigala yang jadi penguasa selama serigala tersebut tak dipilih.

Masalahnya, serigala hari ini semakin cerdik saja, misalnya, dengan mengenakan bulu domba. Dengan polesan media atau strategi pencitraan kelas wahid, seorang diktator bisa tampak seperti sosok demokrat, koruptor bisa tampak seperti dermawan, dan penghamba kuasa kelas dewa bisa bertampang rakyat desa.

Begitulah. Selama dua puluhan tahun ekosistem demokrasi kita dikungkung oleh politik pencitraan, terutama sejak teori Post Truth diperkenalkan ke ruang publik, di mana kesan-kesan dibuat jauh melampaui kebenaran faktual.

Padahal, sebagaimana judul buku James Ball terbaru, "Post Truth: How Bullshit Conquered The World", jurus strategi post truth tersebut melenakan kita semua dengan narasi-narasi mimpi.

Celakanya, hari ini calon presiden malah semakin keranjingan menggunakan teknik pembangunan kesan seperti itu.

Foto-foto bersama presiden dipajang di mana-mana, seolah-olah presiden incumbent merestui pencalonannya.

Padahal dalam demokrasi, yang dibutuhkan adalah restu rakyat pemilih, bukannya presiden petahana. Apalagi restu relawan-relawan.

Jalan terbaik untuk mengobati sakit pencitraan ini adalah dengan kembali kepada fakta dan pulang ke rumah rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi.

Berhentilah menjilat penguasa yang berkuasa untuk dapat melanjutkan kekuasaannya. Pulanglah kepada rakyat. Sejukkanlah hati dan pikiran rakyat pemilih untuk bisa dipilih oleh rakyat.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (99.9%)