Sentimen
Positif (99%)
24 Jul 2023 : 22.15

Apa itu Social Commerce dan Bagaimana Pengaruhnya terhadap UMKM Lokal? Senin, 24/07/2023, 19:25 WIB

24 Jul 2023 : 22.15 Views 10

Wartaekonomi.co.id Wartaekonomi.co.id Jenis Media: News

Warta Ekonomi, Jakarta -

Fenomena social commerce yang sedang ramai diperbincangkan menuai banyak tanda tanya dari publik. Banyak orang yang masih belum awam mengenai apa itu social commerce dan mengapa keberadaannya dapat mengancam Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal.

Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras Adha menjelaskan bahwa social commerce merupakan gabungan dari social media dan e-commerce. Ia juga mengatakan sebenarnya tren social commerce bukan lagi sesuatu yang baru hadir di masyarakat Indonesia, melainkan sudah dari puluhan tahun lalu.

“Secara singkat, social commerce adalah gabungan dari social media dan e-commerce. Yang mana kita lihat, social media ini kan sudah muncul sejak 2000-an. (Sementara e-commerce), sudah kita lihat sekitar 10 tahun terakhir. Dengan perkembangan teknologi, social media yang sudah lebih dari 20 tahun dan e-commerce yang sudah lebih dari 10 tahun ini bergabung. Ini sebenarnya bukan hal yang benar-benar baru, bukan satu atau dua tahun terakhir, mungkin ini sudah sekitar tujuh tahunan terakhir,” jelasnya diskusi virtual Project S TikTok Shop: Ancaman atau Peluang? yang diselenggarakan INDEF, Senin (24/7/2023).

Baca Juga: Project S TikTok Ancam UMKM, Ekonom: Perlu Ada Kebijakan Baru soal Social Commerce

Ia melanjutkan bahwa saat awal muncul, social commerce sendiri belum memberikan dampak yang signifikan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ketika social commerce mengalami peningkatan yang pesat, barulah dampak tersebut mulai terlihat.

“Sudah ada kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, yang memang mungkin sebagaimana kita merespons sebagai manusia, belum merasa ada hal-hal yang berdampak signifikan ketika mereka baru muncul di tengah-tengah kita. Namun, ketika ada progres dalam tiga tahun terakhir, progres itu sangat pesat. Sehingga ini mulai kelihatan, peluang atau ancamannya seperti apa,” paparnya.

Izzudin juga menjelaskan terdapat perbedaan antara social commerce sepuluh tahun yang lalu dan yang berkembang akhir-akhir ini. Perbedaan tersebut adalah mengenai data pengguna dan level playing field.

“Jadi, ini juga terkait dengan perkembangan teknologi. 10-15 tahun lalu, platform itu belum bisa mengambil data pribadi sedemikian canggihnya seperti dalam beberapa tahun terakhir. Para penjual tidak bisa mengambil data pembeli secara makro, mereka paling hanya bisa mengambil data transaksi penjualan yang ada pada lapak mereka,“ ujarnya.

Saat ini social commerce sudah bisa mengambil dan mengolah data para penggunanya. Sehingga, dari olahan data tersebut, secara otomatis bisa menentukan preferensi dari pembelinya.

“Dalam beberapa tahun terakhir sudah bisa (mengambil data pribadi pembeli), yang juga digunakan oleh beberapa social media. Data tersebut bisa diolah, sehingga platform social media atau e-commerce mengarahkan preferensi penjualan, preferensi fitur, yang lebih spesifik kepada pengguna. Dengan algoritma, itu bisa diarahkan,” lanjutnya.

Perbedaan lainnya adalah dalam level playing field. Ia memaparkan karena saat ini data pengguna social commerce dapat diambil dan diolah, hal tersebut mengakibatkan social commerce dapat membuat produk yang sesuai dengan preferensi penggunanya.

“Mereka punya data, bisa mengolah data pengguna dalam jumlah besar, sehingga mereka bisa mengetahui preferensi konsumen di wilayah tersebut, misalnya di Indonesia, bahkan spesifik terhadap pengguna tersebut. Sehingga ketika pengguna punya preferensi skincare, mereka tahu bahwa preferensi kebanyakan pengguna di Indonesia adalah skincare. Kemudian, para social commerce menggunakan data tersebut untuk memproduksi sendiri. Inilah yang kemudian terjadi di TikTok Shop,” paparnya.

Seperti diketahui, TikTok sendiri merupakan perusahaan yang berasal dari China. Di China, biaya produksi dan biaya tenaga kerjanya terkenal relatif murah dibandingkan dengan negara lainnya. Sehingga, harga produk-produk yang dihasilkan social commerce tersebut akan lebih murah dibandingkan dengan produk-produk lokal. Hal inilah yang membuat produk-produk tersebut lebih laku dibandingkan dengan produk-produk buatan UMKM lokal.

“China adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia, labor cost-nya relatif murah dibandingkan negara-negara lainnya. Sehingga, biaya produksinya juga murah, ditambah dengan saat ini TikTok sedang dalam tahap “bakar uang." Sudahlah biaya produksinya murah, biaya pengirimannya seringkali gratis, terlebih belum ada regulasi di Indonesia yang spesifik mengenai social commerce ini, lakulah produk-produk TikTok Shop, khususnya di Indonesia. Harga barang yang jauh lebih murah dijual langsung oleh penjual dari China, ketimbang produk UMKM lokal,” tutupnya.

Baca Juga: Alibaba Gelontorkan Dana Rp12 Triliun ke Lazada dalam Kompetisinya dengan Shopee dan Tiktok

Baca Juga:

Sentimen: positif (99.9%)