Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam, Kristen
Kab/Kota: Mekah, Jeddah, Serang, Cilegon
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Kala Haji Indonesia Tempo Dulu Dianggap sebagai Ancaman Pemerintah Kolonial Belanda
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Pada masa lalu, para haji dianggap membahayakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akibat dianggap bisa menyulut pemberontakan, haji-haji nusantara pun diawasi pemerintah.
"Kaum haji menjadi bahaya yang potensial bagi penguasa kolonial, sejauh mereka dapat memimpin suatu pergerakan." Demikian penggalan tulisan Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Pemberontakan Petani Banten 1888.
Sinyal bahaya yang mengancam kekuasaan tersebut lantaran tidak adanya pembedaan antara komunitas agama dan politik dalam Islam. Kondisi tersebut berdampak terhadap setiap pergerakan protes keagaamaan dengan mudah berubah menjadi gerakan politik. Sartono juga mengutip catatan Snouck Hurgronje terkait anggapan populer warga Eropa yang menyebut Makkah hanyalah tempat persemaian fanatisme keagamaan di mana yang berhaji ditanamkan rasa permusuhan terhadap penguasa Kristen di tanah air mereka.
Baca Juga: Tambahkan CDOB Subang Utara, DPRD Jabar Desak Moratorium Pemekaran Wilayah Dicabut
"Sejumlah kerusuhan yang terus menerus terjadi di Indonesia dalam paruh akhir abad ke-19 menyebabkan perhatian penguasa kolonial semakin ditujukan kepada pengaruh yang datang dari Mekah," tulis Sartono. Sejumlah langkah pun diambil agar semua penyelenggaraan perjalanan naik haji di bawah pengawasan pemerintah. Segala gerak-gerik mereka yang akan berhaji diawasi mulai saat berada di desa, dalam perjalanan, serta di kota suci.
"Akhirnya diketahui bahwa haji-haji yang berpotensi membahayakan bukanlah mereka yang mengunjungi Tanah Suci dalam waktu singkat, melainkan yang bermukim selama beberapa waktu di Mekah," kata Sartono. Soalnya, mereka yang berhaji singkat atau tak bermukim tetap atau sementara tak memiliki kesempatan bertukar pikiran dengan warga muslim dari wilayah-wilayah lain. Sedangkan yang bermukim tetap atau sementara memiliki waktu dan peluang terlibat dalam berbagai macam kegiatan keagamaan. Kategori haji kedua ini pada umumnya disebut dengan Jawah.
Selama di Makkah, para haji yang bermukim itu juga berhubungan dengan saudara dan warga kampungnya di tanah air. Selain itu, hubungan pun tercipta dengan jemaah haji lain. "Dengan cara ini tercipta saluran untuk menyebarkan rasa permusuhan terhadap penguasa kolonial." Penguasa akhirnya khawatir sering pulangnya para haji itu ke tempat asalnya bakal makin memperparah rasa permusuhan tersebut. "Seperti akan terlihat nanti, di antara haji-haji dari kelompok Jawah yang pulang ke tanah air, ada yang tampil sebagai orang yang gigih mendukung gerakan ke arah regenerasi agama, yang bertujuan memperkuat sendi-sendi moral keagamaan. Mereka menentang sikap yang melalaikan ajaran agama dan berusaha memulihkan cita-cita murni Islam."
Baca Juga: Dimensi Sosial Zulhijah
Upaya itu juga sering kali diikuti pemberontakan terhadap penguasa kolonial. Catatan lain juga muncul dalam buku, Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial: Agen Herklost Dan Firma Alsegoff & Co. Setelah Terusan Suez dibuka pada 1869, perjalanan ke tanah suci semakin cepat dan jumlah kapal uap yang berlayar bertambah. Rupanya, jumlah jemaah haji Indonesia yang pulang lebih sedikit dari jumlah yang berangkat. Akibatnya, pemerintah kolonial tidak dapat memantau aktivitas para jemaah tersebut selama di tanah suci selain menunaikan haji.
"Atas dasar pemikiran itu maka Pemerintah Belanda membuka kantor Konsulat di Jeddah pada tahun 1872." Pertimbangan lain adalah penyebaran gagasan Pan Islamisme dari Kerajaan Turki yang dikhawatirkan dibawa para haji yang bermukim tersebut ke tempat asalnya sehingga mengganggu stabilitas kekuasaan kolonial. Kekhawatiran tersebut menyandarkan pemerintah tentang arti penting guna campur tangan dalam penyelenggaraan haji.
Beberapa pimpinan pemberontakan di Banten pada 1888 juga dipimpin sejumlah tokoh bergelar haji, seperti Haji Wasid dan Tubagus Ismail. Pemberontakan yang ditandai serangan pertama pada Minggu, 8 Juli 1888 malam membuat Cilegon bisa diduduki dengan sejumlah korban jiwa dari aparatur pemerintah dan keluarganya. Asisten residen bernama Gubbels juga diburu pemberontak hingga akhirnya tewas. Upaya merebut Serang gagal dan menjadi awal kemunduran pemberontakan tersebut. Setelah terpukul mundur oleh pasukan pemerintah, giliran para pemberontak yang diburu. Tubagus Ismail dan Wasid dan beberapa pemberontak lain kemudian tewas dalam baku tembak di wilayah Sumur sebagaimana dituliskan Sartono dalam bukunya.***
Sentimen: negatif (100%)