Sentimen
Negatif (100%)
5 Mar 2023 : 01.14

Penundaan Pemilu Bentuk 'Abuse of Power' dan Langgar Konstitusi

5 Mar 2023 : 01.14 Views 5

Krjogja.com Krjogja.com Jenis Media: News

Penundaan Pemilu Bentuk 'Abuse of Power' dan Langgar Konstitusi

Krjogja.com - YOGYA - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum KPU untuk menunda pemilu selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan dan 7 hari sejak putusan dibacakan, dinilai tidak memiliki kerangka yuridis yang memadai, tidak layak dan tidak patut. Selain itu, putusan tersebut juga dinilai melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang 'Abuse of power', bahkan 'melanggar konstitusi'.

Demikian dikatakan Dr Tugiman (Balon DPD-RI Dapil DIY) dalam siaran pers yang diterima, Jumat (3/3/2023). Menurut Tugiman, ada beberapa indikator yang dapat mengarah abuse of power dan pelanggaran konstitusi terhadap putusan tersebut. Pertama, yaitu Batas Kewenangan Pengadilan.

Menurutnya, dalam teori hukum, literasi maupun peraturan perundang-undangan, kewenangan pengadilan secara substansi meliputi dua hal, yaitu kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Kewenangan absulot artinya kewenangan pengadilan untuk memutus perkara sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan kewenangan relatif pengadilan mengadili perkara sesuai daerah hukumnya.

Dalam kaitan dengan persoalan tersebut, bahwa gugatan yang diajukan oleh partai Prima adalah gugatan perdata, khususnya terkait dengan tidak lolosnya Partai Prima menjadi peserta pemilu 2024. Namun demikian PN Jakarta Pusat dalam putusannya telah melampaui batas kewenangan yaitu menghukum KPU untuk menunda pemilu selama 2 Tahun, 4 Bulan, 7 hari sejak putusan dibacakan.

Sementara itu sesuai Undang-undang kewenangan mengadili proses pemilu itu hanya ada pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Bawaslu yang memiliki legitimasi untuk itu. "Dengan begitu maka putusan penundaan pemilu oleh PN Jakarta Pusat tersebut disamping berlebihan, tidak patut dan tidak layak dikeluarkan oleh lembaga hukum, juga dinilai telah melampaui batas wewenang dan mengarah kepada 'abuse of power', atau bahkan 'melangggar konstitusi' yang mengamanatkan Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945," kata Tugiman.

Kedua, Penundaan Pemilu Diluar Kewenangan PN. Menurut Tugiman, dalam berbagai regulasi tentang kepemiluan telah mengamanatkan bahwa persoalan hukum terkait proses pemilu menjadi kewenangan Bawaslu dan PTUN, sedangkan sengketa mengenai hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam persoalan tersebut sebenarnya Partai Prima telah menempuh jalur hukum baik ke Bawaslu maupun PTUN, namun kedua lembaga tersebut dalam putusannya menolak gugatan Partai Prima.

Gugatan perdata yang diajukan oleh Partai Prima kepada PN Jakarta Pusat merupakan hak hukum Partai Prima, namun yang menjadi pokok persoalan utama adalah ketika gugatan perdata tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian dikabulkan yang salah satu amar putusannya memerintahkan kepada KPU untuk menunda pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Putusan ini dinilai berlebihan, tidak elok dan dan diluar kewenangan, mengingat putusan dimaksud sebenarnya masuk dalam ranah 'hukum administrasi Negara' yang menjadi kewenangan PTUN atau Bawaslu, karena persoalan sengketa proses administrasi dalam tahapan pemilu itu menjadi kewenangan Bawaslu, sedangkan keputusan mengenai kepesertaan Pemilu menjadi kewenangan PTUN, terlebih sebelumnya PTUN telah mengeluarkan putusan perkara tersebut dan menolak gugatan Partai Prima.

Ketiga, Vonis PN atas Penundaan Pemilu Tidak Berkekuatan Hukum. Bertolak dari kerangka pemikiran dan kerangka yuridis sebagaimana diuraikan diatas, maka jelas tidak ada kompetensi pengadilan umum, (dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat), untuk membuat keputusan penundaan Pemilu.

Oleh karena itu apa yang diputuskan oleh PN Jakarta Pusat tersebut dapat dikatakan 'merupakan perbuatan melawan hukum', karena sejatinya perkara perdata tidak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu, terlebih terkait penundaan Pemilu. Perlu disadari bahwa hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata.

Terlebih regulasi telah menggariskan bahwa penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Dengan demikian 'tidak memiliki kekuatan hukum apabila penundaan pemilu diputuskan melalui vonis pengadilan negeri', karena secara yuridis penundaan pemilu menjadi wewenang KPU, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 431 s.d 433 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Keempat, KPU Banding Langkah Tepat. Menurut Tugiman, terhadap putusan tersebut, KPU akan melakukan upaya hukum berupa banding, hal ini dinilai tepat dan sekaligus sebagai representasi penghormatan terhadap putusan pengadilan.

Kelima, Berpotensi ciptakan Kegaduhan. Terlepas dari persoalan sah tidaknya putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan Pemilu, namun yang pasti putusan tersebut akan memancing reaksi pro dan kontra di masyarakat yang dapat membuat kegaduhan dan tensi politik yang semakin memanas. Selain itu peentingnya para hakim yang mengadili perkara tersebut untuk segera dimintai pertanggungjawaban hukum, terutama terkait 'dugaan pelanggaran kode etik'. (Dev)

Sentimen: negatif (100%)