Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Tangerang, bandung
Kasus: pembunuhan
Tokoh Terkait
Tantangan bagi Hakim Jelang Vonis Ferdy Sambo: Social Justice vs Legal Justice
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Pekan depan, 13 Februari 2023, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menjatuhkan vonis bagi Ferdy Sambo dan para terdakwa lain dalam kasus pembunuhan berencana dan obstruction of justice Brigadir Yoshua Hutabarat. Publik menantikan, apakah ganjaran dari korps baju hitam akan lebih ringan, sama, atau bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa sebelumnya?
Sebelumnya, penuntut umum telah menuntut pidana penjara seumur hidup bagi
Ferdy Sambo, delapan tahun untuk terdakwa Putri Candrawathi, Kuat Maruf, Ricky Rizal, dan dua belas tahun bagi Richard Eliezer.
Perkembangan terbaru yang menarik, aspirasi ratusan guru besar dan dosen di tanah air,
melalui wadah Aliansi Akademisi Indonesia yang beranggotakan Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (FH-UI), Prof. (em) Dr. Maria Farida Indrati (FH UI), Prof. (em) Todung Mulya Lubis, Ph.D (FH-UI), dan Prof. Dr. Hibnu Nugroho (FH Unsoed), meminta keadilan vonis hakim terhadap Richard Eliezer dan menyatakan dukungan sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae).
Amicus curiae merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga
yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara, memberikan pendapat hukumnya
(opini) kepada pengadilan, baik secara lisan maupun tertulis.
Baca Juga: Jaksa Dituding Terobsesi Puaskan Publik, Pengacara Eks Antek Sambo: Abaikan Fakta Persidangan
Amicus curiae merupakan hal yang lazim dalam mekanisme sistem hukum
common law, namun bukan pada civil law, sebagaimana yang dianut oleh negara kita.
Amicus curiae khususnya diajukan pada sebuah kasus perdata di tingkat banding dan
menyangkut kepentingan umum. Prinsip yang berasal dari Hukum Romawi Kuno tersebut merupakan wujud dari social justice ketika masyarakat menuntut keadilan.
Namun, tentunya hakim senantiasa memiliki independensi dalam memutus setiap perkara,
tanpa terpengaruh oleh kepentingan siapa pun dan apa pun. Kekuasaan kehakiman merupakan hal yang sifatnya merdeka dan bebas dari intervensi.
Hakim akan memutuskan berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan dan
mempertimbangkan keadilan bagi para pihak yang berperkara dan terhadap masyarakat
(aspek sosiologis).
Hal ini sudah termaktub dalam pasal 24 UUD 1945 yang menyebutkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi terselenggaranya negara hukum Indonesia.
Baca Juga: Jelang Vonis Ferdy Sambo, Kamaruddin Simanjuntak Menduga Ada Gerakan Bawah Tanah
Tugas Hakim
Pasal 5 ayat 1 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU. No. 48 Tahun 2009) telah menegaskan
bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, maka amicus curiae menjadi hal yang patut dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim, sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya dalam kasus Prita Mulyasari di
PN Tangerang (2008) dan berakhir dengan vonis bebas dari Mahkamah Agung melalui
proses peninjauan kembali (PK).
Untuk itu, saat menjalankan tugasnya, hakim harus menjaga kemandirian peradilan melalui
integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009.
Selain hal di atas, tentunya hakim pun wajib mengkedepankan legal justice yakni keadilan
yang didasarkan pada regulasi atau peraturan perundangan-undangan (hukum positif),
khususnya hukum acara dan berdasarkan fakta materiil di persidangan.
Baca Juga: Dianggap Diam soal Tuntutan Ferdy Sambo Cs, Kamaruddin Mengaku jadi Sasaran Amarah Masyarakat
Di sini, tentunya pengadil bakal mewujudkan keadilan yang merupakan tujuan dari setiap
sistem hukum. Filsuf Plato telah mengingatkan, keadilan merupakan nilai moral (kebajikan) yang tertinggi di samping kebenaran, hukum, dan moral.
Keadilan bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat dilihat dan bergantung kepada sudut
pandang seseorang atau pihak. Keadilan terwujud melalui nurani (moral justice), bukan
berdasarkan penalaran semata.
Tidaklah mudah bagi hakim mewujudkan keadilan bagi semua pihak (justice for all),
sehubungan berbenturannya berbagai kepentingan dari para pihak yang diadili pada sebuah
kasus.
Kita nantikan putusan Majelis Hakim dalam persidangan pekan depan yang tentunya akan
menyedot perhatian masyarakat, sekaligus menjadi ujian dalam dunia peradilan di tanah air terkait aspek social justice vs legal justice pada kasus fenomenal dan menyita perhatian publik ini.***
Disclaimer: Kolom merupakan bentuk komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Artikel ini bukan produk jurnalistik, tetapi murni merupakan opini kolumnis.
Penulis, anggota Asosiasi Manajemen Indonesia Cabang Bandung, Praktisi SDM, dan
pemegang 7 Rekor MURI (peraih gelar akademik & sertifikasi pendidikan terbanyak di
Indonesia).
Sentimen: positif (99.9%)