Sentimen
Tokoh Terkait

Fajar Laksono
Beda yang Dibaca dan Salinan Putusan, Muruah MK Terguncang Manipulasi
Fajar.co.id
Jenis Media: Nasional

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR, FAJAR -- Muruah (marwah) Mahkamah Konstitusi (MK) terguncang. Kasus dugaan manipulasi putusan pencetusnya.
Secara umum, putusan hakim dari suatu lembaga peradilan merupakan mahkota kehakiman. Melalui putusan, akan terlihat indahnya hasil kontemplasi hakim mengonstruksi fakta-fakta hukum.
Bagi hakim konstitusi yang sedang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945, putusan mereka bahkan bisa disebut sebagai mahkota di atas mahkota.
Apalagi, dengan meletakkan UUD NRI 1945 sebagai sandaran pengujian. Artinya, hanya Pancasila di atasnya yang berkedudukan norma tertinggi sebagai dasar bernegara.
Sayangnya, MK menarik atensi masyarakat belakangan. Muruahnya dipertanyakan setelah "aksi sulap" timbul dalam Putusan Perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Perbedaan putusan dibacakan oleh hakim MK dengan salinan putusan yang beredar menjadi kontroversi. Beberapa persoalan mendasar timbul seiring dalam menjaga wibawa dan kredibilitas MK.
Pertama berkenaan dengan isi putusan. Pertanyaannya, yang manakah yang lebih berkekuatan hukum mengikat antara yang terucap dalam sidang terbuka ataukah yang tertuang dalam putusan.
Kedua, tindakan mengubah isi putusan yang dimaksud apakah terkualifikasi sebagai pelanggaran etik atau tidak. Serta ketiga, adakah peristiwa pidana terhadap pihak yang terlibat mengubah putusan itu.
Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Prof Amir Ilyas menjelaskan fenomena perubahan redaksi putusan merupakan kali pertama MK ditengarai pihak yang mengubah isi putusan. Perlu analisis mendalam mengenai terpenuhi tidaknya tindakan mengubah isi putusan MK sebagai pelanggaran etik.
Pada konteks ini, yang perlu diketahui terlebih dahulu siapa aktor atau pelakunya. Tindakan mengubah isi putusan pengadilan merupakan pelanggaran terhadap prinsip integritas, apalagi jika dilakukan oleh hakim.
Artinya, hakim tidak mampu menjamin perilakunya agar tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak. "Kalau pelakunya ternyata hakim konstitusi maka kode etik yang berlaku tentulah kode etik dan perilaku hakim konstitusi," terang Amir Ilyas, Jumat, 3 Februari.
Sedangkan, jika pelaku perubahan berasal dari unsur pegawai MK, yang diberlakukan tentulah kode etik dan perilaku pegawai mahkamah. Hal ini dikarenakan tindakannya dianggap melanggar nilai dan norma pelayanan atas larangan mengubah, memalsukan, menghancurkan atau merusak setiap dokumen yang berada dalam pengawasannya.
Dari segi pidana, tindakan mengubah isi putusan ini adalah tindak pidana memalsukan surat. Jika melihat dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan ini diatur dalam pasal263-276 KUHP.
Dengan tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 (memalsukan akta-akta otentik), serta Pasal 266 KUHP (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).
Memalsukan surat dapat diartikan surat itu sesungguhnya asli, tetapi ada isinya yang dipalsukan. Atau dengan kata lain “suatu perbuatan meletakkan keterangan palsu ke dalam suatu surat otentik.”
"Putusan MK merupakan surat otentik, karena dibuat dan dikeluarkan oleh pejabat berwenang, dalam hal ini oleh sembilan hakim konstitusi," paparnya.
Sehingga, dalam kasus ini, kepada pihak yang dapat dibuktikan sebagai pelaku yang mengubah kata dalam konsideran Putusan MK, dari “dengan demikian” menjadi “ke depan.” Hal ini juga terkualifikasi sebagai pelaku tindak pidana pemalsuan surat yang diperberat, sebagaimana diatur dalam Pasal 264 KUHP.
Kelanjutan kasus ini pun sepenuhnya dipegang aparatur penegak hukum sebagai kendali.
"Setidaknya selemah-lemahnya iman, kita masih bisa berharap ada sanksi etik kepada dia yang telah menghinakan peradilan dan konstitusi. Sebab putusan tidak batal, tetapi yang betul adalah yang terucap oleh hakim," tandas lelaki yang juga mengajar Mata Kuliah Hukum Korporasi itu.
Diketahui, cerita skandal hukum ini berawal dari pencopotan hakim konstitusi Aswanto yang dinilai mendapat intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini menimbulkan reaksi dengan munculnya gugatan atas pencopotan Aswanto.
Sudut Teoretis
Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Unhas Prof Hamzah Halim menjelaskan secara keseluruhan teori penerapan sanksi etik dan pidana bisa dilakukan. Sebab, tindakan mengubah putusan bisa dinilai sebagai pemalsuaan dokumen formal, atau melakukan kebohongan.
"Tentu pasti salah, masa lain ditulis lain dibaca, tapi itu berlaku general untuk seluruh putusan persidangan," paparnya.
Menurutnya, ketika telah melakukan tindak pidana, artinya telah melanggar etik. "Yang benar itu harusnya yang tertulis, apalagi manusia biasa sering salah ucap, baik sengaja maupun tidak sengaja, tapi itu secara teori dan umum, ya," singkatnya.
Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan masing-masing hakim MK sudah mengetahui masalah ini melalui pemberitaan media. Sejauh ini, mereka belum memberikan respons atau tanggapan mengenai tindaklanjutnya.
"Masih mengikuti perkembangan saja,” kata Fajar.
Saat ini, MK masih fokus pada persidangan di Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Mengingat, MKMK sedang melakukan persidangan etik terkait adanya dugaan frasa dalam putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 itu.
(fni/zuk/fajar)
Sentimen: negatif (100%)