Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNPAD
Kab/Kota: bandung, Gunung, Jati, Kramat, Kramat Jati, Tasikmalaya
Tokoh Terkait
Darurat Kekerasan terhadap Anak, Pentingnya Komitmen Realisasikan Kebijakan
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Beberapa bulan terakhir ini, publik dikejutkan oleh adanya beberapa pemberitaan terkait dengan penculikan terhadap anak. Pertama, kasus penculikan dan pembunuhan seorang anak berusia sebelas tahun di Makassar. Yang mengejutkan, pelakunya juga masih anak-anak.
Kedua, kasus penculikan seorang anak perempuan berusia enam tahun di Kelurahan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, yang telah ditemukan pada 2 Januari 2023 dan menjalani perawatan di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Kramat Jati.
Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 dengan responden anak usia 13-17 tahun, disampaikan bahwa 3 dari 10 anak perempuan dan 2 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apa pun.
Berdasarkan jenis kekerasannya, SNPHAR menyebutkan, 4 dari 100 anak laki dan 8 dari 100 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di sepanjang hidupnya. Selanjutnya 12 dari 100 anak laki-laki dan 10 dari 100 anak perempuan pernah mengalami satu jenis atau lebih kekerasan fisik.
Baca Juga: TPA Sarimukti Bandung Barat 'Ngadat', Antrean Truk Sampah Mengular
Kekerasan lainnya yakni kekerasan emosional dialami oleh 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki di sepanjang hidupnya. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, kekerasan terhada anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Sementara di Jawa Barat, kasus kekerasan terhadap anak (KTA) sepanjang 2021 yang terlaporkan menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simdoni-PPA) sebanyak 1.677 kasus.
Pada 2022 lalu, marak kasus perundungan pada anak di beberapa sekolah di Jawa Barat. Sebagai contoh yang sempat viral adalah kasus anak usia sebelas tahun asal Kabupaten Tasikmalaya yang meninggal dunia diduga akibat mengalami depresi setelah dirundung rekan sebayanya.
Pada akhir tahun terjadi kembali kasus serupa yang dialami anak usia SMP di Kota Bandung hingga ia mengalami luka fisik akibat kekerasan fisik yang dilakukan teman sebayanya.
Belum lagi kasus kekerasan fisik (penusukan) dialami anak perempuan yang menyebabkan kematian di wilayah Kelurahan Maleber, Kota Bandung dilakukan orang dewasa yang tidak dikenal.
Baca Juga: Kuasa Hukum Ungkap Harapan Keluarga Brigadir J, Singgung Hukuman untuk Ferdy Sambo
Fakta-fakta ini tentunya tidak bisa dianggap sepele. Seluruh pemangku kepentingan perlu melakukan berbagai strategi pengawasan, perlindungan, pencegahan, serta perawatan dan rehabilitasi.
Pencegahan
Pada 15 Juli 2022 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Stranas PKTA).
Hal itu menjadi acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
Stranas PKTA ini adalah upaya dari pemerintah untuk menjamin adanya ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan, serta pelaksanaan dan penegakannya untuk menghapus segala bentuk KTA.
Di Jawa Barat sendiri, pada 2020 telah lahir Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 9 Tahun 2020 tentang Road Map Jawa Barat Tolak Kekerasan yang ditujukan untuk memberikan arah pelaksanaan dan pengembangan program Jabar Tolak Kekerasan dengan memperhatikan konteks, situasi, faktor, dan kecenderungan yang berkembang untuk melakukan percepatan dalam mempercepat pencapaian zero kekerasan di Jawa Barat.
Selanjutnya lahir Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak yang di antaranya mengatur rencana aksi daerah perlindungan anak.
Sayangnya meskipun berbagai kebijakan perlindungan anak baik di tingkat pusat maupun daerah telah ada, faktanya kekerasan terhadap anak semakin meningkat setiap tahunnya.
Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Tentu saja komitmen seluruh pemangku kepentingan yang sudah jelas diatur dalam kebijakan tersebut harus direalisasikan sesuai perannya masing-masing.
Pembentukan gugus tugas, forum komunikasi, dan sebagainya, seringkali berakhir dengan formalitas. Padahal, koordinasi antara pemangku kepentingan ini menjadi penting untuk memastikan berbagai program perlindungan anak tersebut dapat terwujud.
Monitoring dan evaluasi kebijakan-kebijakan tersebut penting dilakukan karena bisa jadi banyak pihak yang belum menjalankannya, bahkan belum mengetahui serta memahami isi dari pasal-pasal yang tertuang di dalamnya.
Isu perlindungan anak bukan hanya tugas dinas/perangkat daerah tertentu, karena merupakan isu lintas sektoral yang memerlukan kerja sama dan kolaborasi semua pihak, seperti yang diamanatkan berbagai kebijakan tersebut.
Keberpihakan pada anggaran (APBN dan APBD) untuk perlindungan anak ini juga menjadi hal penting untuk memastikan berbagai kebijakan perlindungan anak dapat direalisasikan dengan optimal.
Selain itu, perlu kiranya memastikan pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan perlindungan anak melalui berbagai program yang telah berjalan, seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA), dan sebagainya yang dilaksanakan di tingkat kelurahan/desa.
Harapannya, terwujudnya kota/kabupaten/provinsi layak anak yang sesungguhnya, bukan semata urusan penghargaan untuk sesaat.*** (Antik Bintari)
Penulis adalah dosen FISIP Unpad, Fasilitator Nasional PATBM di Indonesia.
Disclaimer: Kolom merupakan bentuk komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Artikel ini bukan produk jurnalistik tetapi murni merupakan opini kolumnis.
Sentimen: positif (100%)