Sentimen
Negatif (100%)
16 Jan 2023 : 06.55
Informasi Tambahan

Kab/Kota: bandung, Semarang, Surabaya, Tanjung Priok, Samarinda, Yogyakarta, Banda Aceh, Palembang, Pekanbaru, Manado, Palangkaraya

Kasus: HAM, pembunuhan

Tokoh Terkait

Jokowi Dinilai Sibuk Pencitraan Lewat TPP HAM, YLBHI dan 18 LBH Singgung Kasus Munir dan Tragedi Abepura

16 Jan 2023 : 06.55 Views 13

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Jokowi Dinilai Sibuk Pencitraan Lewat TPP HAM, YLBHI dan 18 LBH Singgung Kasus Munir dan Tragedi Abepura

PIKIRAN RAKYAT – YLBHI dan para LBH se-Indonesia mengklaim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sibuk pencitraan lewat pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM (TPP HAM).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) baru-baru ini mengeluarkan rilis pers menjawab pengakuan Jokowi terkait pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Adapun ke-19 lembaga tersebut menghimpun YLBHI, LBH Banda Aceh, Pekanbaru, Medan, Palembang, Padang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Kalimantan Barat, Samarinda, Palangkaraya, Makassar, Manado, dan Papua.

LBH secara gamblang memberikan klaim bahwa TPP HAM adalah alat pencitraan pemerintahan era Jokowi jelang periode akhir jabatannya.

Baca Juga: Antisipasi Risiko Lato-Lato, Orangtua Perlu Lebih Intensif Membimbing dan Mengawasi Anaknya

“YLBHI berpendapat Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) tidak lebih dari pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya,” kata mereka.

“Seolah (pemerintahan Jokowi) memenuhi janji politiknya dan (TPP HAM jadi) bagian dari langkah pemerintah untuk terus memberikan impunitas (pembebasan hukuman) kepada pelaku pelanggaran HAM berat, terlebih menjelang Pemilihan Umum 2024," kata mereka lagi dalam rilis.

TPP HAM yang telah dibentuk pemerintah untuk menangani HAM, lanjut LBH justru tidak bersesuaian dengan undang-undang.

Mereka kemudian mencatut Pasal 47 Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai contoh.

Baca Juga: Tak Hanya Malika, Satu Bocah Lagi Nyaris Jadi Korban Jacky si Penculik Anak

Di dalamnya terdapat aturan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui cara ekstra-yudisial harus dibentuk melalui UU. Sedangkan, TPP HAM dibentuk atas dasar Keputusan Presiden.

Banyak hal yang mendasari keraguan YLBHI dan LBH pada Jokowi, yang pertama berasal dari ketidakseriusan Kejaksaan Agung dari kaca mata mereka.

Jaksa Agung diketahui sempat menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Selain itu, mereka ragu lantaran Jokowi malah mengangkat pejabat-pejabat yang diduga terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat.

"Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi," kata mereka.

Baca Juga: Konsumsi Makanan Tak Sehat Berdampak pada Otak, Bisa Picu Hilangnya Ingatan

Mereka tak lupa menyoroti kasus yang seolah dikubur dan tak diungkit Jokowi di luar 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diakui.

Diantaranya ada Operasi Militer Timor Timur (1975-1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Abepura (2000), Pembunuhan Theys Eluay (2001), dan Pembunuhan Munir (2014).

Untuk itu, daripada hanya retorika kosong, YLBHI mendesak Jokowi agar memprioritaskan kepastian penegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM baik secara non yudisial maupun yudisial.

"Mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," kata YLBHI dan 18 LBH se-Indonesia. ***

Sentimen: negatif (100%)