Sentimen
Negatif (99%)
14 Jan 2023 : 14.52
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Cimahi

Kasus: HAM

Tokoh Terkait

Komnas HAM: Penerbitan Perppu Cipta Kerja Bertentangan dengan Putusan MK

14 Jan 2023 : 14.52 Views 14

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Komnas HAM: Penerbitan Perppu Cipta Kerja Bertentangan dengan Putusan MK

PIKIRAN RAKYAT - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menyatakan penerbitan ‎Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Putusan itu meminta supaya pemerintah melakukan perbaikan dalam proses penyusunan Undang-Undang Cipta Kerja dengan memenuhi hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna.

Hal tersebut mengemuka dalam Keterangan Pers Nomor: 03/HM.00/I/2023‎ pada Jumat 13 Januari 2023. Perppu‎ yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pun dinilai tertutup dan tiba-tiba. Masyarakat baru mendapatkan informasi atas peraturan tersebut pada hari yang sama saat Presiden mengumumkannya kepada publik.

Dalam Pasal 5 huruf g UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 13/2022, ditegaskan bahwa dalam setiap pembentukan perundang-undangan, dimulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, harus memenuhi asas keterbukaan yakni bersifat transparan dan memberikan akses bagi masyarakat untuk memberikan masukan.

Baca Juga: Menteri Investasi Soal Polemik Perppu Cipta Kerja: Hidup Tak Bisa Memuaskan 100 Persen Manusia!

Dalam perspektif HAM, asas keterbukaan publik termasuk di dalamnya hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi publik  wajib dihormati dan dipenuhi oleh negara. Hak-hak dimaksud dijamin dalam Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945 jo. Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat 2, dan Bab Partisipasi Masyarakat UU HAM yang dimuat dari Pasal 100 hingga Pasal 103.

Dalam perspektif formal, Perppu harus ditetapkan berdasarkan kegentingan yang memaksa. Makna kegentingan yang memaksa memiliki tiga parameter berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Baca Juga: Ratusan Buruh dan Mahasiswa Gelar Aksi Penolakan Perppu Cipta Kerja

Dalam terminologi HAM, kegentingan yang memaksa dimaknai sebagai keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya sebagaimana diatur dalam Undang Undang no 12 Tahun 2005 Pasal 4 yang merupakan pengesahan ratifikasi Kovenan  Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP). Dalam keadaan darurat dimaksud, negara diperkenankan untuk mengurangi kewajibannya atas pelaksanaan hak-hak sipil dan politik.

Perppu terbit atas alasan adanya kegentingan yang memaksa yaitu tantangan dan krisis ekonomi global yang mengancam perekonomian nasional berupa kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim, dan terganggungnya rantai pasokan.

Walau begitu dalam perspektif HAM, indikator kegentingan memaksa yang dicantumkan dalam Bagian Menimbang huruf g Perppu Cipta Kerja tidak cukup sebagai alasan menetapkan kedaruratan yang memberikan legitimasi bagi negara dalam mengurangi kewajibannya dalam pelaksanaan HAM.

"Dalam hal ini, secara spesifik adalah hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna dan hak atas informasi publik," demikian kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan pers itu.

Baca Juga: Berbenturan dengan UU Cipta Kerja, Pemkot Cimahi Berpotensi Kehilangan Pendapatan dari TKA

Presiden disebut berwenang menetapkan Perppu dalam kegentingan yang memaksa. Namun, dalam hal penetapan Perppu Cipta Kerja, hal itu telah menimbulkan persoalan baru karena menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang meminta supaya pemerintah melakukan perbaikan dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja dengan memenuhi hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna.

Karakteristik Perppu justru dianggap meniadakan partisipasi publik yang bermakna karena penerbitannya menjadi kewenangan subjektif Presiden selaku kepala negara.

Komnas HAM menyatakan,‎ pembentukan Perppu bertentangan dengan perintah di dalam pertimbangan putusan MK tersebut yang seharusnya menyertakan partisipasi bermakna dalam pembahasan kembali UU Cipta Kerja yang dilakukan dalam waktu dua tahun sejak Putusan MK tersebut dibacakan.

Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap UU Cipta Kerja. Partisipasi tersebut meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan sikapnya secara bebas dan tanpa paksaan (free prior and informed consent).

Selain itu, partisipasi bermakna memiliki maksud yaitu: (i) hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), (ii) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan (iii) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Dipenuhinya hak berpartisipasi yang bermakna dan hak atas informasi akan menentukan pemenuhan hak-hak substansial yang lainnya.

Merujuk rekomendasi Komnas HAM pada 2020, aspek formal pada saat pembentukan UU Cipta Kerja adalah terbatasnya hak atas partisipasi yang bermakna dari masyarakat, serta kurang terpenuhinya hak atas informasi publik.

Partisipasi yang bermakna dimaksudkan sebagai penyediaan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat melalui berbagai kanal untuk penyampaian pendapat dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang secara nyata juga dapat dipertimbangkan serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikan. 
 
Komnas HAM pun merekomendasikan sejumlah hal‎ yakni presiden memperhatikan syarat objektif dalam penerbitan Perppu khususnya dari sisi penghormatan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam UUD RI 1945.

Sementara DPR bisa melakukan pembahasan dan pengkajian secara mendalam atas Perppu dengan memenuhi hak atas partisipasi publik yang bermakna termasuk memenuhi hak berpendapat serta hak berekspresi dan hak atas informasi publik berbagai kelompok pemangku hak.

DPR juga bisa mengkaji Perppu dan membuka dialog dengan kelompok-kelompok kepentingan atas aturan itu berdasarkan asas hak partisipasi bermakna.***

Sentimen: negatif (99.2%)