SETARA Sesalkan Tidak Ada Pengungkapan Kebenaran saat Pemerintah Akui Pelanggaran HAM
Merahputih.com
Jenis Media: News

MerahPutih.com - Sikap pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo soal pelanggaran HAM berat masa lalu terus menuai sorotan.
SETARA Institute menilai, pernyataan Jokowi yang mengakui dan menyesali adanya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu dalah bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi.
Baca Juga:
Personel TNI-Polri Bakal Diberikan Pelatihan Cegah Pelanggaran HAM
"Khususnya dalam memenuhi janji kampanyenya saat di 2014, saat hendak mencalonkan diri sebagai presiden," ucap Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute Sayyidatul Insiyah di Jakarta, Jumat (13/1).
Menurut Sayidattul, sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi Jokowi.
"Tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM," ucap dia.
Sayidattul berujar, tim yang hanya bekerja tidak lebih dari lima bulan, dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang belum terlihat publik, mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan.
Ia yakin, tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka.
"Apalagi tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu," sebut Sayyidatul.
Baca Juga:
Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Sayidattul menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh itu.
Sehingga terlihat tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan.
"Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial," ungkap Sayyidatul.
Sehingga, lanjut Sayyidatul, lompatan logika yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial. Khususnya sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas.
Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, tetapi dengan keputusan politik presiden yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban, maka keputusan Presiden Jokowi akan menjadi referensi. Termasuk sikap lanjutan pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya.
Di sinilah kecerdikan Jokowi merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM.
"Di satu sisi, berhasil memetik insentif politik sebagai pemecah kebekuan; tapi di sisi lain, juga dicatat sebagai presiden yang berhasil menutup ruang bagi kerja lanjutan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui jalur yudisial," tutup Sayyidatul. (Knu)
Baca Juga:
PGI Apresiasi Jokowi Akui Pelanggaran HAM meski tidak Disertai Permintaan Maaf
Sentimen: negatif (100%)