Sentimen
Negatif (99%)
8 Jan 2023 : 13.29
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019

Menteri NasDem Di-reshuffle Jadi Kemajuan Demokrasi Indonesia

8 Jan 2023 : 13.29 Views 20

Merahputih.com Merahputih.com Jenis Media: News

Menteri NasDem Di-reshuffle Jadi Kemajuan Demokrasi Indonesia

MerahPutih.com - Partai NasDem sebaiknya tidak lagi berada di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika menteri-menteri dari NasDem di-reshuffle dari kabinet, justru sebuah kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.

Demikian disampaikan analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting kepada wartawan, Minggu (8/1).

"Keberadaan NasDem akan menambah kekuatan oposisi menjadi sekitar 25 persen, sekaligus sebagai pengimbang kekuatan politik," kata Ginting.

Baca Juga:

Politikus Golkar: Menteri Tak Perform Sebaiknya Direshuffle

Ginting menanggapi rumor akan terjadinya reshuffle atau perombakan kabinet pada Januari 2023. Hal itu setelah beberapa bulan lalu, Partai NasDem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden 2024 mendatang. Anies dianggap mewakili kubu oposisi.

Menurutnya, jika pemerintahan berjalan tanpa oposisi, dan tanpa kontrol sosial yang efektif dari media massa, pemerintahan dicurigai dekat dengan oligarki dan menuju pemerintahan otoriter.

"Keberadaan oposisi justru keniscayaan bagi demokrasi. Oposisi itu bukan barang haram, justru halal bagi kemajuan demokrasi di Indonesia," tutur Ketua Bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik Unas tersebut.

Dalam pemerintahan Presiden Jokowi, kata Ginting, hanya menyisakan dua partai politik yang berhasil menduduki kursi di parlemen, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.

Jumlah perolehan suara gabungan kedua partai oposisi itu pada Pemilu 2019 lalu, hanya berkisar 17,5 persen. Kini dengan posisi Partai NasDem sebagai oposisi kekuatan pengimbang pemerintah menjadi sekitar 25 persen.

Dikemukakan, dalam konteks politik, maka kekuatan politik partai oposisi menyebabkan pemerintahan bisa berjalan lebih demokratis dan efektif. Hal ini karena pemerintah akan dipaksa menjalankan kebijakan politik yang jauh lebih demokratis.

"Salah satu kuncinya adalah komunikasi politik untuk membuka ruang dialog dan menghindari kecurigaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan," ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.

Baca Juga:

Ditanya soal Reshuffle Kabinet, Jokowi Jawab Besok

Dia mengharapkan, jelang pelaksanaan Pemilu 2024, keberadaan oposisi jangan dilakukan dengan kebijakan asal beda dengan pemerintah. Jika itu yang dilakukan, kata Ginting, namanya oposisi "sontoloyo".

Sebab kata Ginting, oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah. Oposisi justru harus dimaknai sebagai eksistensi politik yang memberikan alternatif pilihan bagi kebijakan pemerintahan.

"Kalau ide, usulan, dan jalan keluar dari oposisi justru lebih bagus daripada yang dibuat pemerintah, maka jangan malu, ikuti saja saran dari kekuatan oposisi. Saran dari oposisi bukan barang haram dalam politik," kata kandidat doktor ilmu politik itu.

Di era reformasi saat ini, menurut Ginting, merupakan kesempatan untuk memperbaiki iklim demokrasi dari kegagalan membangun demokrasi di era Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang mengharamkan kelompok atau partai oposisi.

"Di era Presiden Sukarno, oposisi dicap sebagai kontra revolusi dan antek-antek neokolonialisme. Di era Soeharto, oposisi dimaknai sebagai anti-Pancasila dan kelompok ekstrem. Inilah kekeliruan yang harus kita perbaiki di era reformasi," pungkas Selamat Ginting. (Pon)

Baca Juga:

Respons Gerindra Terkait Rencana Reshuffle Kabinet

Sentimen: negatif (99.8%)