Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kab/Kota: bandung, Washington
Mengapa Ibu Rentan Alami Masalah Kesehatan Mental? Simak Penyebab dan Solusinya
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Setiap ibu, baik ibu bekerja maupun ibu rumah tangga, sama-sama memiliki peran dan tanggung jawab besar terhadap keluarga dan berbagai peran lain sehingga rentan mengalami gangguan kesehatan mental, terutama stres dan depresi. Untuk itu, dukungan dari lingkungan terdekat menjadi salah satu hal yang sangat dibutuhkan.
Mengingat berbagai peran dan tanggung jawab tersebut, seorang ibu dituntut selain menjaga kesehatan fisik, juga memiliki kesehatan mental optimal. Kesehatan mental merupakan suatu kondisi ketika seseorang menyadari kemampuannya, dapat mengatasi setiap tekanan yang normal, dapat bekerja secara produktif, dan berkontribusi terhadap lingkungan.
Ada berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko gangguan terjadinya kesehatan mental, mulai dari kondisi psikologi, sosial, hingga biologi. Kondisi ibu yang tidak sehat secara mental, dapat memengaruhi kondisi keluarga dan pola asuh anak.
Bagi ibu pekerja, tekanan sosial di lingkungan pekerjaan dan rumah juga bisa menjadi pemicu stres. Sementara bagi ibu rumah tangga, stres sering terjadi karena gangguan rumah tangga yang dialami berulang tanpa penyelesaian yang tepat.
Baca Juga: Sederet Manfaat Memaafkan, Ternyata Berpengaruh pada Kesehatan Mental
Sulitnya mendapat dukungan dari lingkungan terdekat karena budaya patriarki yang khas di masyarakat ketimuran, juga menjadi salah satu faktor perempuan berada dalam kelompok rentan kesehatan mental. Apalagi, masih banyak perempuan yang hidup dengan stereotip bahwa setelah menikah, hidup harus didedikasikan kepada urusan rumah tangga seperti mengurus suami, anak-anak, pekerjaan domestik, sekaligus mengatur keuangan.
Budaya patriarki ini sering kali pada akhirnya secara tidak langsung membuat suami merasa tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan peran rumah tangga bersama. Tugas mencari nafkah menjadi peran mutlak, sehingga suami kerap mengesampingkan urusan domestik karena dianggap bukan tanggung jawabnya.
Tidak jarang, perempuan sebagai seorang ibu sekaligus istri mengalami stres akibat kelelahan. Tidak adanya dukungan dari lingkungan terdekat, semakin memperburuk kondisi ibu yang bisa memicu depresi.
Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga sempat menemukan bahwa budaya patriarki di Indonesia rentan menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Baca Juga: Bahaya Asal Ikut Tren Diet di Media Sosial, Picu Kekurangan Nutrisi hingga Kesehatan Mental
Laki-laki yang merasa superior di dalam rumah tangganya menganggap memiliki hak kendali atas tubuh dan kehidupan pasangannya, termasuk berhak melakukan kekerasan jika diperlukan. Pandangan masyarakat juga membuat wanita atau ibu rumah tangga tidak memiliki keberanian untuk melaporkan kekerasan. Dalam realitanya, masih banyak masyarakat yang merasa bahwa pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal wajar, atau perempuan sebagai istri dan ibu harus menjadi lebih baik agar tidak disakiti.
Dilansir The Conversation, berdasarkan Riset Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington, jumlah penderita Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam 30 tahun terakhir meningkat secara global. Jumlah tersebut paling banyak dialami oleh perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Ibu dengan kondisi mental yang tidak stabil dapat membahayakan dirinya sendiri, pun anak-anaknya. Apalagi, jika masalah mental ini tidak terdeteksi. Hal itu misalnya juga sejalan dengan temuan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyebutkan bahwa banyak anak-anak mengalami kekerasan karena ibu yang mengalami masalah kesehatan mental.
Stres dan depresi
Baca Juga: Belum Banyak Dipahami Masyarakat, Berikut Contoh-contoh Stigma Kesehatan Mental
Dua jenis gangguan kesehatan mental yang seringkali ditemukan pada seorang ibu, yakni stres dan depresi. Stres merupakan kondisi ketika seseorang tidak mampu lagi mengatasi tekanan mental atau emosional yang dialaminya. Stres yang terus bertumpuk dan tidak ditangani, akan berkembang menjadi kondisi yang lebih buruk lagi atau dikenal sebagai depresi.
Psikolog dari Universitas Islam Bandung (Unisba) Dinda Dwarawati mengatakan, salah satu hal yang menjadi faktor terganggunya kesehatan mental seorang ibu yakni konflik peran yang dirasakan di dalam diri.
Banyak perempuan yang hanya memikirkan orang lain seperti kebutuhan keluarga dan pasangan, sehingga terkadang mengabaikan dirinya sendiri. Perasaan merasa tidak cukup, sering dihakimi, kurang mendapatkan pengakuan, kelelahan mengerjakan seluruh urusan rumah tangga, hingga hanya memiliki sedikit waktu untuk me time, seringkali memantik gejala stres dan depresi jika terus bertumpuk.
“Konflik peran ini terjadi karena dalam mengerjakan peran ganda, seseorang tidak bisa memilih karena semua dianggap prioritas. Hal ini potensial sekali jadi konflik, yang akan berpengaruh terhadap kesehatan mental seorang perempuan,” ucap Dinda, Rabu 21 Desember 2022.
Apalagi, banyak juga perempuan yang bekerja demi memenuhi kebutuhan finansial untuk menyokong kebutuhan keluarga, selain kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Selain memiliki sisi negatif yang berhubungan dengan kesehatan mental, konflik peran juga memiliki sisi positif. Dengan demikian, perempuan bisa memanfaatkan diri secara optimal dari satu peran ke peran lain, serta kepuasan ketika berhasil melaluinya.
Stres dan depresi yang dialami oleh ibu rumah tangga dan ibu pekerja awalnya bersifat ringan. Akan tetapi, jika sejumlah tanda dibiarkan menumpuk tanpa penyelesaian, maka stres bisa berujung pada depresi dengan gejala yang lebih intens dan pemicu yang beragam. Bisa dikatakan, depresi merupakan stres yang tidak ditangani dengan cara yang tepat.
Lebih lanjut, kata Dinda, seorang perempuan perlu banyak didukung oleh lingkungan sekitarnya, serta diberikan cukup ruang untuk bisa menuntaskan peran ganda yang dijalaninya.
Untuk itu, penting mengetahui gejala gangguan kesehatan mental pada ibu, baik ibu bekerja maupun rumah tangga. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga pasangan dan keluarga. Dengan begitu, permasalahan ini dapat segera ditangani sehingga kualitas kehidupan keluarga pun akan semakin membaik.
Yang bisa diupayakan oleh perempuan agar sehat secara fisik dan mental, dilanjutkan Dinda, adalah ketika seorang perempuan benar-benar bebas melakukan apa yang menjadi pilihannya dan bertanggung jawab terhadap pilihan tersebut. Yang tak boleh dilupakan juga, adalah jangan sampai pilihan tersebut mengganggu kebahagiaan orang lain.
Upaya lain seperti memiliki waktu me time yang cukup, menghindari lingkungan sosial yang toksik, mengonsumsi makanan sehat dan gizi seimbang, serta meminta dukungan pasangan dan ahli, juga bisa dilakukan.
Selain itu, perlu peran besar pemerintah dan tokoh masyarakat untuk mau berperan memperbarui pandangan tentang perempuan sebagai istri, sehingga rumah tangga bisa dibangun dengan kerja sama, dan anak-anak tumbuh dalam keluarga yang kooperatif.***
Sentimen: positif (66.7%)